Selasa, 30 Oktober 2012

Jurnal Ilmiah menjadi syarat Sarjana :) {Hal ini sudah berlaku, selamat menikmati}

Hal Ini sudah menjadi keputusan yang sebenarnya sudah lama. Admin hanya mengingatkan kembali kepada kita semua, bahwa jalan yang akan ditempuh untuk mencapai cita-cita akan selalu menanjak. Yang kita perlukan adalah semangat yang besar dan tekad yang kuat untuk mampu melewatinya.
Salam Sejawat FK UR :)






Kebijakan tersebut menuai pro dan kontra, lengkap dengan perdebatan seru di kalangan civitas akademika dan pemerhati pendidikan di Indonesia. Mari kita lihat sekilas alasan atau argumentasi dari masing-masing kubu.
Kubu pro sangat mendukung kebijakan ini karena tanpa ada paksaan, mahasiswa tidak akan pernah membuat makalah. Kadang “tangan besi“ membuat kita tidak cengeng atau bisa berupaya dengan keras, walau mungkin terpaksa. Dengan kerja keras, termasuk dengan membuat makalah, maka mahasiswa ditempa dengan etos dan budaya ilmiah. Lagian, sumber pembuatan makalah pun bisa diambil dari riset kecil-kecilan, apalagi dari hasil tugas akhir atau skripsi. Intinya, jika tidak dipaksa, mahasiswa justru dininabobokan dan terlena. Padahal negara lain sudah lari dalam hal jumlah publikasi, termasuk Malaysia yang dijadikan rujukan dalam surat edaran Dirjen DIKTI tersebut.
Selain itu, kubu pro merasa bahwa perguruan tinggi adalah pabrik riset dan publikasi, bukan pabrik sarjana semata. Saat ini, masyarakat sering mempertanyakan peran perguruan tinggi dalam memberdayakan dan menerapkan IPTEKS demi pembangungan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kampus pun dianggap menara gading yang terisolasi dari masyarakat. Dan salah satu cara mengatasi tuduhan tersebut adalah melalui penyebaran IPTEKS berupa makalah dalam jurnal ilmiah.
Namun, pihak yang berseberangan, yakni kubu kontra tidak kalah sengitnya menolak kebijakan tersebut. Argumentasi atau alasannya pun masuk akal. Satu pertanyaan yang dilontarkan oleh kubu kontra: Apakah menulis makalah menjadi jaminan bahwa lulusannya bisa bekerja dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat? Jika tidak, untuk apa buat makalah. Namun kubu kontra tidak menganggap makalah itu tidak penting, namun keharusan tersebut belum menjadi priorotas, atau masih banyak masalah pendidikan tinggi lainnya yang perlu dibenahi.
Pertanyaan lainnya dari kubu kontra: Apakah sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk memuat makalah tersebut sudah memadai? Mutu perguruan tinggi itu sangat beragam, termasuk kemampuannya dalam mengelola jurnal. Jika sarana dan prasarana tersebut tidak memadai, maka kebijakan tersebut bisa menjadi bottle neck. Jadi yang lebih prioritas didahulukan adalah peningkatan budaya ilmiah, termasuk peningkatan kemampuan metodologi dan publikasi ilmiah bagi perguruan tinggi yang secara mayoritas tidak sama seperti PTN-PTN ternama di Indonesia yang sedikit jumlahnya.
Andaikan kebijakan itu dipaksakan, kubu kontra membuat kalkulasi berapa jumlah makalah yang dihasilkan selama setahun oleh ratusan ribu lulusan. Apakah jumlah jurnal ilmiah saat ini bisa menampungnya. Okelah, setiap perguruan tinggi memang bisa menerbitkan jurnal ilmiah seperti penjelasan Dirjen DIKTI dan Mendiknas sesudah SE itu menuai pro dan kontra. Namun, lagi-lagi, apakah upaya penerbitan jurnal itu bisa dilakukan oleh 3000 lebih PT di Indonesia, dengan segala permasalahannya. Yang dikhawatirkan oleh kubu kontra adalah munculnya jurnal abal-abal, atau para pembuat jasa makalah- atau sering disebut sebagai ghost writer atau shadow scholar- muncul bergentayangan. Kondisi tersebut justru kontraproduktif terhadap upaya membangun etika ilmiah di dunia kampus.
Singkat kata, niat baik belum tentu berdampak baik jika faktor lainya tidak dipertimbangkan. Kewajiban membuat makalah sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh kubu kontra jika diberlakukan untuk mahasiswa tingkat master dan doktor. Pemberlakukannya untuk lulusan sarjana setidaknya perlu ditunda karena masih banyak masalah lain yang lebih mendesak untuk dibenahi di perguruan tinggi.

Begitulah pro dan kontra menyoal kewajiban membuat makalah sebagai syarat kelulusan. Bagaimana pendapat Sejawat?

Sumber : Gunadarma

Bagi sejawat yang belum menyelesaikan skripsi, tantangan di atas nyata di hadapan kalian :)
Khusus Universitas Riau, pengajuan jurnal ilmiah dapat dikirimkan ke repositori yang akan di kordinir oleh pihak perpustakaan UR.

Berikut berita yang admin kutip :

" Dalam rangka publikasi karya ilmiah yang sesuai dengan surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012, Universitas Riau (UR) berlakukan unggah karya ilmiah pada repositori online UR. Hal tersebut berlaku sebagai syarat kelulusan mahasiswa strata satu (S-1) UR. Peraturan unggah karya ilmiah tersebut terhitung tanggal 1 September 2012. Hal tersebut sesuai dengan Surat Peraturan Rektor Universitas Riau Nomor 415/UN19/AK/2012. Mengenai pedoman umum penerbitan karya ilmiah tersebut, dalam surat keputusan Rektor UR dijelaskan karya ilmiah yang dimaksud merupakan bagian atau seluruh substansi skripsi atau data penelitian lainnya. Karya ilmiah tersebut dapat diterbitkan pada Repositori Karya Ilmiah Online UR dan/atau pada jurnal yang memiliki ISSN. Selain itu, karya ilmiah yang diterbitkan harus mengikuti tata cara penulisan dan prosedur penerbitan yang berlaku pada repositori karya ilmiah online UR. Jumlah halaman karya ilmiah maksimal 15 halaman dengan ukuran kertas A4."

Untuk melihat detail isi surat edaran dai pihak Universitas Riau tersebut, silahkan lihat disini 
#Salah satu halaman dari surat edaran.

Demikianlah sebagai pengingat kepada sejawat sekalian. Semoga bermanfaat.
Salam Sejawat FK UR :)

1 komentar:

  1. Salam kenal. Terima kasih atas kunjungannya :)
    Semoga bisa membantu.

    BalasHapus