Dulu, setiap kali membaca majas atau semacamnya yang menyatakan tentang kesepian di tengah keramaian saya biasanya hanya tersenyum sendiri, karena merasa hal tersebut agak berlebihan. Saya selalu berfikir bahwa pada dasarnya setiap orang itu sendiri, sampai kita memutuskan untuk berhubungan dengan orang lain. Jadi default mode-nya itu ya seseorang yang individualis. Menurut saya sih.
Lalu kemudian saya menyadari bahwa pernyataan tersebut tidak sepenuhnya mengungkapkan tentang orang yang merasa kesepian. Bisa jadi ia sedang menjelaskan tentang keramaian.Tentang orang-orang di sekitarnya, yang terasa berbeda dengan dirinya.
Karena entah kenapa, tadi siang itu kampus benar-benar terasa asing, hahaha. Okay, mungkin sedikit berlebihan, karena saya lupa menyebutkan pegawai kantin yang nggak berubah sejak saya masih di kampus. Tapi selain itu, semua asing. Mahasiswa entah tingkat berapa (bisa 08, 09, 10, dan 11, tapi kemungkinan besar 10 dan 11 karena 08 dan 09 masih lumayan familiar) berkeliaran dengan penampilan yang menurut saya berbeda dengan yang biasa saya lihat di angkatan 05 (angkatan saya sendiri). Mulai dari gaya berbusana, bicara, ketawa-ketiwinya, ngerumpinya, pokoknya beda. Ah, jadi merasa tua sekali, hihi.
Karena sekilas, saat terdengar obrolan mereka yang duduk persis di meja sebelah saya, sama sekali nggak terbayang saya akan ikut dalam perbincangan seperti itu. Nggak punya bahannya, lol.
Kemudian.... Saya SEOLAH-OLAH melihat kilas balik saat masih di kampus, akhir 2005-akhir 2009…
Saat mahasiswa/i masih menggunakan pakaian yang sederhana untuk kuliah, bukan kerudung gaul penuh bling-bling, bukan celana jeans yang modelnya anyar semua.
Ketika di musholla masih banyak yang ngumpul, sekedar duduk atau membaca diktat sambil menunggu azan Zhuhur atau Ashar masuk, atau gerombolan akhwat instant yang tiba-tiba rajin pengajian.
Lalu obrolan di kantin yang terasa wajar karena tidak bergerombolan membentuk geng-geng eksklusif. Saat bebas cekikikan membahas ketololan saat ujian, lalu bergegas merendahkan suara ketika ada senior atau dosen yang lewat.
Atau saat anggota Rohis dengan berani menegur mahasiswa yang pakaiannya terlalu seronok. Membuat tulisan-tulisan yang bisa membuat pembacanya tertohok. Ketika Wakrema membuat lomba yang ramai diikuti. Menyusun pertunjukan yang membuat semua tertawa setengah mati.
Ketika kebersamaan tidak terasa dibuat-buat. Mengalir saja.
Ketika semua masalah yang ada selesai di dalam pagar kampus.
Ketika berbisik-bisik membicarakan nilai adik kelas yang anjlok.
Ketika memutuskan untuk membuat grup bimbingan belajar agar nilai mereka tidak lagi anjlok.
Saat berselisih paham dengan angkatan yang lebih tua.
Ah. Mengingat itu semua, benar-benar meyakinkan saya bahwa ada yang berubah dengan kampus.
Tentu saja, tidak mungkin menginginkan semua orang bertindak seperti saya. Atau angkatan saya. Ini bukan 2005 lagi bung. Hampir 2012 bahkan.
Tapi saya percaya ada batasan-batasan yang bisa diterima oleh semua orang.
Batasan kesopanan. Cara bertingkahlaku. Berpakaian. Saat berpacaran. Bersikap dengan yang lebih tua.
Saya masih ingat benar saat harus melanjutkan sekolah SMP di desa tempat Kakek-Nenek, karena di kampung tempat Ayah-Ibu mengajar hanya ada SD, Ayah berpesan begini:
Mulai sekarang, orang tidak akan melihat kamu sebagai anak Ayah. Anak seorang guru. Tidak ada yang mengenalimu. Mulai sekarang, orang akan mengenalimu sebagaimana kamu bertingkah laku. Jaga diri baik-baik.
Sejak saat itu, jadi kebiasaan menilai orang ya hanya dari personal-nya orang itu. Not their family. Not what they have. But what then can do. What their ability. Not what they are wearing. But what they are talking.
Jadilah saya seseorang yang suka nge-judge and cynical, lol.
Mudah-mudahan apa yang ada dalam fikiran saya sekarang ini keliru. Dan yang ada justru sebaliknya. Amin. 
*Tulisan ini saya ambil dari salah satu blog Mahasiswa FK UR angkatan 2005 yang telah menyelesaikan studi, (Dengan pengubahan redaksi seperlunya).


Tidak ada komentar:
Posting Komentar